Kenapa Hidup Tak Pernah "Cukup"

Beberapa hari yang lalu saya naik taxi yang disopiri oleh seorang laik-laki berusia 61 tahun. Si sopir berkata bahwa ia sudah menjalani profesinya sebagai supir taxi ini selama 19 tahun pada perusahaan yang sama (Perusahaannya gak saya sebut, ntar malah kena UU ITE pencemaran nama baik). Ia punya 8 orang anak. Kebijakan perusahaan hanya memperbolehkan taxi dioperasikan dengan sistem 1 hari jalan 1 hari off. Pendapatan rata-rata seharinya cuman 30ribu, dan dengan sistem perusahaan seperti itu, ia harus menggunakan uang yang tak seberapa itu untuk makan 2 hari keluarganya. Ia pun menyempatkan diri untuk menyeka air matanya agar tak terlihat olehku.

Di lain waktu kulihat tukang becak, yang menurut standar politik kita disebut sebagai wong cilik. Tukang becak itu sekedar ngetem sambil nunggu penumpang. Terkadang mereka tertidur dan entah berapa rupiah terlewat saat mereka sedang nyenyak itu.

Saya pun yang Alhamdulillah dipandang orang lebih mampu pun masih juga sering mengeluh dengan duit yang nipis lah, gak punya duit lah, dan problem finansial lainnya.

Ketika saat ini saya sedang terlibat pada sebuah kegiatan besar pun saya tergoda untuk ingin mendapatkan bagian besar. Apalagi terkadang sering seperti ada yang membisiki (setan kali), bahwa saya minta bagian besar itu adalah hal yang wajar karena itu hak saya. Kadang juga ada bisikan, bahwa saya sudah dibodohi oleh orang-orang yang memanfaatkan saya untuk keuntungan mereka.

Kuhela nafas, sambil membatin, "oh hidup, kenapa kamu tak pernah bisa puas dengan kata "cukup"..."

Sebuah renungan...

Artikel-ku yang lain:

0 comments:

Posting Komentar